Tuesday 15 January 2013

Sejarah Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah Di Indonesia

Sejarah Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia 
  A. Pendahuluan
Madrasah  Ibtidaiyah (MI) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia yang setara dengan Sekolah Dasar, yang pengelolaannya dilakukan oleh kementrian agama.pendidikan Madrasah Ibtidaiyah ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6.lulusan Madrasah Ibtidaiyah dapat melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Menengah Pertama. Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah sama dengan kurikulum Sekolah Dasar.hanya saja pada MI terdapat porsi lebih banyakmengenai pendidikan agama islam.selain mengajarkan mata pelajaran sebagaimana di SD, juga ditambah dengan pelajaran – pelajaran seperti:

• Al-Quran hadits
• Fiqih
• Bahasa Arab
• Sejarah Kebudayaan Islam
• Aqidah dan Akhlak
Di Indonesia, setiap warga negaa yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun. Sebelum kita membahas masalah perkembangan madrasah lebih dalam lagi, perlu kita sedikit menoleh ke belakang, tentang asal-usul pendidikan islam (Madrasah) di Indonesia. Sebelum adanya pendidikan berbasis agama islam, terlebih dahulu telah ada pendidikan kolonial yang dipelopori oleh Belanda. Sedangkan pada masa itu pendidikan islam hanya terbatas pendidikan pesantren yang mana metode pembelajaranya masih tradisional, sedangkan pendidikan kolonial jauh lebih maju baik dari segi isi, metode serta sistem pembelajaran. Setelah berjalan beberapa waktu, timbul inisiatif pertama yang dikenal di seluruh Indonesia dan memberikan hasil cukup lama, yaitu gerakan salaf di Minangkabau yang juga disebut dengan Modernis Padang, atau modernis kaum muda. Gerakan ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan islam di Indonesia. Karena atas inisiatif Syekh Abdullah Ahmad, maka didirikanlah Madrasah Abadiyah di Padang (Sumatra Barat) tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia. Madrasah Abadiyah pada mulanya bercorak agama semata, baru pada tahun 1915 ketika menjadi HIS (Holland Inland School) Adabiyah dimasukan pelajaran umum ke dalamnya. Sebenarnya bila kita teliti lebih dalam lagi, pembaharuan pendidikan islam yang banyak mengundang reaksi dari kalangan luar, bukanlah dimulai dari kota besar Padang, melainkan dari beberapa tempat yang lebih kecil di Padang daratan. Dorongan yang terpenting berasal dari tokoh aneh, tetapi mempunyai kepribadian yang kuat, Zainuddin Labai el Janusi (1890-1924). Pada tahun 1915, ia membuka sekolah guru Diniyah dengan mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur dan mencakup pengetahuan umum, seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi, di samping pelajaran agama terdapat juga kegiatan ekstra berupa klub musik. Tetapi sebelum didirikanya Madrasah Abadiyah di Padang, telah didirikan sekolah tinggi di Surakarta oleh Paku Buwono yang digabungkan dengan masjid, mempunyai 14 orang guru dan 325 orang murid. Pelajaran agama terdiri dari membaca dan menghafal Al-Qur’an, kitab Safinah dan Ummul Barahim. Selanjutnya pelajaran diberikan dalam bahasa arab, juga diberikan mata pelajaran ilmu falak, pengetahuan tentang peredaran matahari, perhitungan tentang gerhana matahari, Al-jabar dan Mantik. Maka sekolah ini (Manba’ul Ulum) dapat dianggap sebagai pelopor dalam pembaharuan pendidikan, antara lain memasukan beberapa unsur pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan islam di Indonesia. Pembaharuan pendidikan islam yang juga menjadi cikal bakal madrasah juga dilakukan organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan masyarakat keturunan Arab baik di Jakarta, Surabaya dan beberapa tempat lainya. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pendidikan dan sosial didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330/18 November 1912 di Yogyakarta. Dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah menggabungkan sistem pendidikan pondok pesantren, yang selama ini menjadi sistem pendidikan yang mapan di kalangan umat islam untuk mempertahankan diri dari setiap ekspansi Kristenisasi, dengan sistem pendidikan Barat, yang dianut oleh Belanda dan misi Kristen. Pola klasikal yang dipakai oleh sekolah-sekolah sistem barat itu diambil alih sepenuhnya oleh Muhammadiyah, sedangkan materi pelajaranya adalah tentang masalah umum ditambah dengan mata pelajaran agama islam. Sedangkan masyarakat keturunan Arab yang dipimpin oleh Syeikh Ahmad Soekarti pada tahun 1913, mendirikan sebuah organisasi sosial dan pendidikan dengan nama “Al-Irsyad” di Jakarta. Organisassi ini sebenarnya merupakan respon dari pada gerakan pembaharuan/modernis yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. Selain organisasi-organisasi di atas masih terdapat banyak lagi organisasi lain yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain : 1. Nahdhatul ‘Ulama (NU) NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya dengan tokoh yang memprakasai berdirinya K.H. Hasyim’Asyari dan K.H Wahab Hasbullah. NU banyak mendirikan Madrasah (di samping tentunya pesantren), dengan susunanya adalah Madrasah Awaliyah (2 tahun), Ibtidaiyah (3 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Mu’alimin Wustha (2 tahun), dan Mua’llimin ‘Ulya (3 tahun) 2. Perhimpunan Umat Islam Ini merupakan fusi Perikatan Umat Islam yang didirikan di Majalengka Jawa Barat oleh K.H A.Halim pada rahun 1917 dan Al-Ittihad Al-Islamiyah yang didirikan di Suka Bumi oleh K.H A.Sanusi pada tahun 1931. Perhimpunan Umat Islam mendirikan beberapa lembaga pendidikan yaitu Madrasah Diniyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), dan Madrasah Aliyah (4 tahun). 3. Persatuan Islam (Persis) Persis merupakan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan yang didirikan di Bandung pada 17 September 1923 atas prakasa K.H M.Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang yang telah lama menetap di Jawa Barat. Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan, di antranya Taman Kanak-kanak HIS, sekolah MULO, Sekolah Guru dan beberapa pesantren. 4. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) PERTI merupakan organisasi sosial yang didirikan pada 5 Mei 1930 di Candung, Bukit Tinggi. Bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Pendirinya adalah para alim ulama’ tersohor di Sumatra Barat, di antaranya ialah Syekh Suleman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad Abbas Al-Kadi Bukit Tinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, dan Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang. Dalam usahanya di bidang pendidikan PERTI mendirikan Madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Kuliyah Syari’ah. 5. Perserikatan Ulama’ Organisasi ini didirikan pada tahun 1917 di Majalengka oleh K.H Abdul Halim. Usahanya di bidang pendidikan lembaga pendidikan bersifat modern, dengan nama Jam’iyat I’anat al-Musta’alimin yang mendapat sambutan baik dari masyarakat Majalengka. 6. Al-Jam’iyatul Washiliyah Al-Jam’iyatul Washiliyah adalah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial keagamaan di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Medan, Sumatra Utara pada 30 November 1930 (9 Rajab 1349 H). Organisasi ini didirikan atas inisiatif sekelompok siswa Maktab Islamiyah Tapanuli Medan yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi yang bernama “Debating Club”. Al-Washiliyah cukup banyak mendirikan pendidkan berbagai tingkatan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Mts (3 tahun), Madrasah Qismul ‘Ali (3 tahun), Madrasah Mu’alimin (3 tahun), PGA, SD Al-Washiliyah (6 tahun), SMP Al-Washiliyah (3 tahun), dan SMA Al-Washiliyah (3 tahun) Selain dari pada organisasi-organisasi di atas masih terdapat beberapa organisasi-organisasi lain baik yang bergerak dalam bidang sosial ataupun keagamaan yang ikut andil dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Juga terdapat beberapa tokoh agama yang berperan dalam pengembangan pendidikan seperti H.Muhammad Mansyur, K.H Moh.Ilyas, Abdullah Ahmad, Abdul karim Amrullah dan masih banyak lainnya. Sejak kemerdekaan Indonesia, upaya-upaya perbaikan dan peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai aspek. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 27` Desember 1945, yang menyebutkan bahwa : Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantaun nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah. Agar madrasah mendapat bantuan material dan bimbingan dari pemerintah sesuai dengan sasaran BP KNIP, maka Kementrian Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan umum dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaranya. B. Sejarah Perkembangan MI di Indonesia Penamaan lembaga pendidikan di Indonesia dewasa ini pada umumnya merupakan pinjaman dari bahasa Barat, seperti universitas (dari university), sekolah (dari school), akademi (dari academy), dan lain-lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan madrasah. Penerjemahan kata madrasah ke dalam bahasa Indonesia dengan mengaitkan pada bahasa Barat dianggap tidak tepat. Di Indonesia, madrasah tetap dipakai dengan kata aslinya, madrasah, kendatipun pengertiannya tidak lagi persis dengan apa yang dipahami pada masa klasik, yaitu lembaga pendidikan tinggi, karena bergeser menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar sampai menengah. Pergeseran makna dari lembaga pendidikan tinggi menjadi lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah itu, tidak saja terjadi di Indonesia, tetapi juga di Tumir Tengah sendiri. Sejauh ini tampaknya belum ada data yang pasti kapan istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai lembaga pendidikan, mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional Is¬lam yang digunakan baik di masjid, surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah. Dalam peta dunia pendidikan di Indonesia, madrasah memang bukan sesuatu yang indegenius (asli Indonesia). Sebagaimana ditunjukkan oleh kata “madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah kata “madrasah” berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia “sekolah” yang juga bukan kata asli bahasa Indonesia. Dalam pengertian ini madrasah menggambarkan proses pembelajaran secara nonformal yang tidak berbeda dengan sekolah. Hanya dalam lingkup kultural, madrasah memiliki konotasi spesifik. Di lembaga ini, siswa memperoleh pelajaran agama dan keagamaan, sehingga dalam pemakaiannya kata madrasah lebih dikenal sebagai sekolah “agama”. C. Perkembangan Madrasah di Indonesia 1. Masa Penjajahan Pada masa pemerintah kolonial Belanda Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif, terhadap pendidikan Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia. Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah. Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional. 2. Madrasah Pada Masa Orde Lama. Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri. Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah. Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebbudayaan 3. Madrasah Pada Orde Baru Sejak ditumpasnya G 30 S/PKI pada tanggal 1 0ktober 1965, bangsa Indonesia memasuki fase baru yang diberi nama Orde Baru. Perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerjasama yang erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Sejak tahun 1966 para pemuda dan mahasiswa melakukan demonstrasi dijalan-jalan secara spontan memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan pemerintah Orde Lama. Pada era ini madrasah masih belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, akan tetapi madrasah menjadi lembaga otonom di bawah pengawasan menteri agama. Ketika Departernen Agama didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung maksud sekolah agama (madrasah) konflik pemerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama. Pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pembinaan terhadap madrasah swasta. Pada Masa Orde baru, perkembangan Madrasah Ibtidaiyah ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan adanya rangkaian dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) sejak masa orde lama yakni PP No 33 tahun 1949 dan PP No 33 tahun 1950, yang sebelumnya didahului dengan dikeluarkan Permenag No 1 Tahun 1946, No 7 tahun 1952, No 2 tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah. Bantuan madrasah yang semula diperhitungkan perkapita @ Rp. 60 per murid (uang lama), suatu kebijakan yang mengecewakan umat karena bantuan tersebut sejak tahun 1965 dan di masa orde baru dijadikan bantuan lepas sampai sekarang. Pada saat itu MI berjumlah 24.979 yang 24.370 atau 97,6 % adalah swasta. Jumlah itu merupakan bagian dari aset bangsa yang sangat besar yang tentunya berhak untuk melanjutkan pendidikan dan terjun ke dunia kerja yang layak pula. Kemudian lahir kebijakan dalam rangka pengembangan madrasah tingkat dasar (Ibtidaiyah) , pemerintah (Departemen Agama) mendirikan Madarasah Wajib Belajar (MWB) yang menjadi langkah awal dari adanya bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan mutu madrasah ibtidaiyah. Walaupun kemudian MWB ini tidak berjalan sesuai dengan harapan karena berbagai kendala seperti terbatasnya sarana prasarana,masyarakat kurang tanggap dan juga pihak penyelenggara madrasah, setidaknya itu menjadi pendorong kemudian pemerintah mendirikan adanya madrasah negeri yang lebih lengkap dan terperinci, dengan perbandingan materi agama 30% dan materi pengetahuan umum 70%. Sistem penyelenggaraan, jenjang dan kurikulum disamakan dengan sekolah umum yang berada dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang merupakan sekolah setingkat Sekolah Dasar Negeri dengan lama belajar 6 tahun. Dalam Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah : 1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. 2. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan 3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 80 tahun 1967. Kesempatan penegerian itu kemudian dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.813/ 1970, ketika itu jumlah MIN sudah mencapai 358 buah. Selanjutnya pada tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama. Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang telah mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Sebelum abad ke-20 tradisi pendidikan Islam tidak mengenal istilah madrasah; yang ada saat itu adalah pengajian al-Qur’an dan pengajian agama di masjid, pesantren, surau, atau langgar. Istilah madrasah baru menjadi fenomena pada awal abad ke-20 ketika di beberapa wilayah, terutama di Jawa dan Sumatera, berdiri madrasah. Pada zaman penjajahan perkembangan madrasah di Indonesia juga merupakan respons atas kebijakan dan politik pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Dalam bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa madrasah dalam batas-batas tertentu merupakan lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan. Dalam perkembangannya, sistem madrasah yang asalnya merupakan penyempurnaan dari pendidikan Islam di surau, langgar, masjid, atau tempat-tempat lain yang semacamnya, akhirnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) madrasah yang khusus memberi pendidikan dan pengajaran agama (Madrasah Diniyah), dan (2) madrasah yang di samping memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga mempelajari pelajaran umum. Untuk tingkat dasar disebut Madrasah Ibtidaiyah, untuk tingkat menengah pertama disebut Madrasah Tsanawiyah, dan untuk tingkat menengah ke atas disebut Madrasah Aliyah . Dahulu, kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia sangat bervariasi, untuk Taman Kanak-Kanak sudah ada dua jenis: Raudhatul Athfal dan Bustanul Athfal. Untuk tingkat dasar, ada nama Madrasah Ibtidaiyah (MI), ada yang memakai nama Madrasah Wajib Belajar (MWB), dan Sekolah Dasar Islam (SDI). Untuk tingkat menengah pertama, ada yang memakai nama al-Islamiyah (MMI), Madrasah Mu’allimin Mu’allimat (MMM), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Pendidikan Guru Agama Pertama (PGAP), Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI), Kulliyatul Muballighin, dan sebagainya. Untuk tingkat menengah atas, ada yang memakai nama Madrasah Aliyah (MA), Muallimin 6 Tahun, Muallimin Mu’allimat 6 Tahun, Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA), Pendidikan Pegawai Urusan dan Pengadilan Agama (PPUPA), Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA), Pendidikan Guru Agama 6 Tahun, Pendidikan Guru Agama Lengkap (PGAL), Madrasah Aliyah Salafiyah, Sekolah Persiapan IAIN, dan lain-lain. Dan, kurikulumnya disusun dengan selera masing-masing pengelolanya 6. Pada tahun tujuh puluhan, atas prakarsa Departemen Agama, keadaan lembaga pendidikan Islam yang bervariasi tersebut diadakan pembaharuan, termasuk di dalamnya penyederhanaan. Untuk tingkat dasar, semuanya diseragamkan menjadi satu nama, yaitu Madrasah Ibtidaiyah, untuk tingkat menengah pertama disederhanakan menjadi Madrasah Tsnawiyah (MTs), sedangkan untuk tingkat menengah atas dijadikan satu nama manjadi Madrasah Aliyah, kecuali sejumlah kecil yang merupakan sekolah kejuruan, yaitu Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) masih dipertahankan. Kurikulumnyapun diseragamkan seluruhnya, dengan perbandingan 70% bidang studi umum, dan 30% bidang studi agama . Selanjutnya, kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, paling tidak karena alasan-alasan sebagai berikut : (a) sebagai manifestasi pembaharuan pendidikan Islam, (b) penyempurnaan sistem pesantren, (c) keinginan sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan Barat, dan (d) sebagai sintesa sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Barat 8. Sampai saat ini (tahun 2008), kelembagaan madrasah di Indonesia sebagai sekolah umum berciri khas Islam, baik negeri maupun swasta, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) sampai Madrasah Aliyah (MA) menurut Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam (Bagais) Departemen Agama RI mencapai 39.309 madrasah. Sebagian besar madrasah-madrasah tersebut didirikan dan dikelola oleh masyarakat (swasta) dengan jumlah mencapai 92% sementara sisanya 8% merupakan madrasah negeri . Namun di sisi lain, tumbuh kembangnya madrasah-madrasah secara kuantitas tersebut tampaknya kurang diimbangi dengan tumbuh kembangnya kualitas madrasah. Memang terdapat beberapa madrasah yang berkualitas, khususnya yang menjadi madrasah model . Dan, rata-rata penyebaran madrasah-madrasah, baik negeri maupun swasta, yang paling banyak adalah di pedesaan, sementara di perkotaan, termasuk kota-kota besar, misalnya di Surabaya, tidak begitu banyak, apalagi madrasah yang berstatus negeri. Belum lagi kalau mengkaji animo masyarakat Surabaya untuk masuk pada madrasah negeri, tentu tidak sebanding dengan animo mereka memasukkan anakanaknya ke sekolah-sekolah umum negeri atau juga sekolah-sekolah umum Islam swasta yang favorit. Realitas seperti ini tentu menjadi tantangan bagi madrasah di perkotaan, dengan mempertanyakan dirinya sendiri tentang apa yang perlu diperbaiki terkait dengan sistem pendidikannya. Memang harus diakui, bagi masyarakat Indonesia, selain pesantren, madrasah selama ini juga masih dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional sehingga dinamikanya di perkotaan memang tidak secepat di daerah pedesaan. Sejak ditumpasnya G 30 S/PKI pada tanggal 1 0ktober 1965, bangsa Indonesia memasuki fase baru yang diberi nama Orde Baru. Perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerjasama yang erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Sejak tahun 1966 para pemuda dan mahasiswa melakukan demonstrasi dijalan-jalan secara spontan memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan pemerintah Orde Lama. Pada era ini madrasah masih belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, akan tetapi madrasah menjadi lembaga otonom di bawah pengawasan menteri agama. Ketika Departernen Agama didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung maksud sekolah agama (madrasah) konflik pemerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama. Pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pembinaan terhadap madrasah swasta. Bentuk pertama dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indonesia merdeka adalah seperti yang ditentukan Dalam Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1946, tanggal 19 Desernber 1946 tentang pemberian bantuan madrasah.Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa madrasah adalah tiap-tiap tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya (Iihat penjelasan pasal I peraturan tersebut). Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas untuk beberapa karesidenan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Bentuk bantuan berupa uang yang hanya boleh digunakan untuk: 1) memberi tunjangan kepada para guru, 2) membeli alat alat pelajaran, 3) Menyewa dan atau memelihara ruang ruang dan gedung madrasah 4) Membiayai administrasi. Peraturan tersebut mencantumkan pula ketentuan bahwa dalam madrasah itu. hendaknya diajarkan juga. pengetahuan umum setidak tidaknya: a) bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) ditambah dengan ilmu ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh tumbuhan dan alam di madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang¬kurangnya 1/3 dari jun dah jam pengajaran seluruhnya. Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum. 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia Penyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah-madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum vang sangat berguna bagi kehidupan sehari hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas. Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan dalam madrasah tersusun dalam: 1. Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama belajar sekurang-kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun; 2. Madrasah Lanjutan dengan masa belajar sekurang-kurangnya 3 tahun setelah tamat Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun ke atas. Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah: 1. Madrasah Rendah (sekarang dikenal dengan sebutan Madrasah lbtidaiyah) dengan masa belajar 6 tahun 2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah lbtidaiyah. 3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Ma'drasah Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah Tsanawiyah. Madrasah lbtidaiyah Negeri sebagian besar berasal dari madrasah madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, Lampung dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 Sekolah Rendah Islam yang diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh yang dengan Ketetapan Menteri Agama no. I tahun 1959, pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Kementerian Agama dan namanya diubah menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI). Kernudian melalui Keputusan Menteri Agama No.104 tahun 1962 diubah namanya menjadi Madrasah lbtidaiyah 11.1egeri (MIN). Hal yang sama terjadi di karesidenan Lampung. Sebanyak 19 SRI berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 2 tahun 1959. Di Karesidenan Surakarta sebanyak 11 SRI dengan Penetapan Menteri Agama no. 12 tahun 1959. Kemunculan Orde Baru tampil dengan konsep pembangunan yang lebih dikenal dengan pembangunan Lima Tahun (PELITA). Pembangunan nasional merupakan bagian penting dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru. Pada masa Orde Baru pendidikan bersifat sentralisme, dengan birokrasi yang ketat. Hal ini terjadi akibat dari system pemerintahan yang otoriter. Hal ini memberi akibat kepada kegiatan pendidikan bersitaf menunggu perintah dari atas (top down). ( Abuddin Nata, 2003: 42) Dengan adanya sentralisme, maka pendidikan tidak berjalan dengan baik, inovasi terhenti karena setiap pembaruan dan inovasi dianggap menetang pemerintah. Sehingga pembaruan dan inovatif dalam pendidikan tidak berjalan secara maksimal. Dari pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah pada masa Orde Baru belum mempunyai kurikulum yang standar, manajemen dan struktur yang berbeda di setiap madrasah. Keadaan ini menimbulkan sulitnya pemerintah mengontrolnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Husni Rahim , bahwa madrasah mempunyai karakterisitik yang unik, diantaranya adalah, pertama, madrasah adalah milik masyarakat. Kedua, madrasah menerapkan manajemen berbasis sekolah. Ketiga, madrasah sebagai lembaga untuk menperdalam agama Islam. Keempat, madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilisasi umat. Dengan demikian pantaslah madrasah belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Akan tetapi hal itu tidak menjadikan madrasah surut dan tenggelam, bahkan sudah melangkah sedikit lebih maju. Hal ini dapat dipahami dari konsep pendidikan menitikberatkan kepada konsep manajemen berbasis sekolah. hal ini dapat dipandang bahwa madrasah telah menerapkan manajemen yang berbasis sekolah, yang disesuaikan dengan keadaan dan lingkungan dimana madrasah berada. Dalam arti dalam manajemen tidak harus sama dengan madrasah lainnya. Masa Orde baru, perkembangan Madrasah Ibtidaiyah ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan adanya rangkaian dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) sejak masa orde lama yakni PP No 33 tahun 1949 dan PP No 33 tahun 1950, yang sebelumnya didahului dengan dikeluarkan Permenag No 1 Tahun 1946, No 7 tahun 1952, No 2 tahun 1960 dan terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah. Bantuan madrasah yang semula diperhitungkan perkapita @ Rp. 60 per murid (uang lama), suatu kebijakan yang mengecewakan umat karena bantuan tersebut sejak tahun 1965 dan di masa orde baru dijadikan bantuan lepas sampai sekarang. Pada saat itu MI berjumlah 24.979 yang 24.370 atau 97,6 % adalah swasta. Jumlah itu merupakan bagian dari aset bangsa yang sangat besar yang tentunya berhak untuk melanjutkan pendidikan dan terjun ke dunia kerja yang layak pula. Kemudian lahir kebijakan dalam rangka pengembangan madrasah tingkat dasar (Ibtidaiyah) , pemerintah (Departemen Agama) mendirikan Mdarasah Wajib Belajar (MWB) yang menjadi langkah awal dari adanya bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan mutu madrasah ibtidaiyah. Walaupun kemudian MWB ini tidak berjalan sesuai dengan harapan karena berbagai kendala seperti terbatasnya sarana prasarana,masyarakat kurang tanggap dan juga pihak penyelenggara madrasah, setidaknya itu menjadi pendorong kemudian pemerintah mendirikan adanya madrasah negeri yang lebih lengkap dan terperinci, dengan perbandingan materi agama 30% dan materi pengetahuan umum 70%. Sistem penyelenggaraan, jenjang dan kurikulum disamakan dengan sekolah umum yang berada dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang merupakan sekolah setingkat Sekolah Dasar Negeri dengan lama belajar 6 tahun. Dalam Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah : 1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. 2. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan 3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat. Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 80 tahun 1967. Kesempatan penegerian itu kemudian dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.813/ 1970, ketika itu jumlah MIN sudah mencapai 358 buah. Selanjutnya pada tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama. D. Isu – Isu Pendidikan Madrasah di Indonesia Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan metode pengajarannya pun sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan moderen barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan tulis untuk proses belajar mengajar. Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya—sejak awal kemerdekaan—sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Perkembangan serta kemajuan pendidikan Islam terus meningkat secara signifikan. Hal itu dapat dilihat misalnya pada pertengahan dekade 60-an, madrasah sudah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama juga menyebutkan jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) yang mencapai 776 buah dengan jumlah murid 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat Aliyah diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid 1.881. Dengan demikian, berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa. Meskipun pemerintah melalui departemen agama sudah banyak melakukan perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah, namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang dalam hal ini dikelola oleh departemen pendidikan. Karena realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya mempunyai prestige yang lebih baik daripada madrasah / sekolah Islam (Islamic School). Lebih dari itu, dengan masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin ketimbang masuk ke madrasah atau sekolah Islam. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu menjadi seorang guru agama atau ustdaz. Sedangkan lulusan dari sekolah umum mampu masuk ke sekolah-sekolah umum yang lebih bonafide dan mempunyai jaminan lapangan pekerjaan yang pasti. Dalam konteks kekinian, image madrasah atau sekolah Islam telah berubah. Madrasah sekarang tidak lagi menjadi sekolah Islam yang hanya diminati oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Melainkan sudah diminati oleh siswa-siswa yang berasal dari masyarakat golongan kelas menengah ke atas. Hal itu disebabkan sekolah-sekolah Islam atau madrasah elit yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum sudah banyak bermunculan. Diantara madrasah atau sekolah Islam itu adalah; Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Islam al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, Madania School, dan lain sebagainya. Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan dengan apa yang disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris. Seperti Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah Islam Al-Azhar, sekolah Islam Al-Izhar, Sekolah Islam Insan Cendekia, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh diantaranya. Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu, pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat Madrasah Aliyah. Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh madrasah. Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu, dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan. Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik, teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya, maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan. Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga. Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum. E. Penutup Dengan mempertimbagkan kembali ide yang sebenarnya sudah lama disuarakan oleh beberapa kalangan, yaitu adanya pendapat yang menginginkan pendidikan satu atap di negeri ini. Seperti yang diungkapkan bahwa fenomena penganaktirian madrasah sesungguhnya adalah konsekwensi dari pemberlakuan dualisme manajemen pendidikan di negeri ini yang berlangsung sudah sejak lama. Maka terkait dengan masalah dualisme pendidikan ini, ide tentang pendidikan satu atap ini juga layak kembali dipertimbangkan. Menurut saya ketika semangat otonomi pendidikan menjadi isu sentral dalam reformasi pendidikan nasional, maka madrasah seharusnya include dalam semangat otonomi itu. Ada banyak alasan ilmiah yang menguatkan bahwa otonomi pendidikan diyakini akan mendatangkan kemaslahatan terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional di masa datang. Masalahnya adalah sekalipun madrasah sesungguhnya bergerak di bidang pendidikan yang sudah ditonomikan, selama ini madrasah berada dalam jalur birokrasi Departemen Agama yang tidak diberikan wewenang otonomi, makaakibatnya jadilah madrasah sebagai anak tiri oleh pemerintahan daerah. Sebagai pendidik saya berkeyakinan bahwa pendidikan satu atap, dimana pendidikan hanya dikelola oleh satu departemen, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, akan memberikan dampak luar bisa kepada perkembangan madrasah pada masa datang. Apalagi UU No.20/2003 telah menegaskan bahwa madrasah dalam banyak hal, seperti dalam hal kedududukan, status, dan kurikulum sama persih dengan sekolah umum, maka secara yuridis ide pendidikan satu atap ini sesungguhnya telah memiliki landasan hukum yang sangat kuat. Pada tataran praktis, kalau ummat Islam khawatir memudarnya idealisme pendidikan Islam di madrasah, kenapa tidak dibuka saja satu jurusan baru di SMA, jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya, yang khusus mengakomodir keinginan peserta didik untuk mempelajari agama Islam secara lebih mendalam? Apalagi bukankah juga sudah ada ribuan pesantern yang memfasilitasi keinginan itu? Saya yakin wacana tentang “pendidikan satu atap ini” sangat debatable, karena ada banyak kepentingan di situ. Tapi poin saya adalah semua kalangan dalam pendidikan Islam tidak boleh berhenti mencarikan solusi terbaik agar madrasah tidak terus menerus menjadi anak tiri, agar madrasah bisa “dipangku ibu pertiwi” dalam makna yang sesungguhnya. Allah berfirman Artinya; Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.
lailynur85.blogspot.com

No comments:

Post a Comment